Oleh : PROF. DR. H. MIFTAH FARIDL
Aku jauh, Engkau jauh
Aku dekat, Engkau dekat.
(Bimbo)
Sepenggal bait yang diambil dari syair lagu Bimbo di atas mudah-mudahan tepat untuk menggambarkan pengembaraan ruhani yang dilalui Prof. Dr. Tati Joesron saat ini. Mungkin terlalu sederhana. Tapi itulah yang saya ketahui dari salah satu sudut kehidupannya. Kedekatannya dengan Tuhan setelah melampaui perjalanan intelektual yang cukup panjang menjadi sisi yang menarik untuk diungkap ketika saya diminta memberikan komentar atas kiprah hidupnya selama ini. Meski tidak merepresentasikan keseluruhan hidup Bu Tati, pesan-pesan syair itu menjadi lukisan terindah pengalaman hidup yang tengah dialaminya paling tidak saat tulisan ini dibuat.
Sepanjang pengetahuan saya, dalam rentang orang-orang sukses, Bu Tati Joesron termasuk satu dari sedikit sosok langka. Dia sukses meniti karir akademik hingga meraih posisi puncak sebagai guru besar. Tentu bukan hal yang gampang. Kini, terutama dalam perjalanan mengisi waktu senjanya, dia juga sukses mengabdi bagi kepentingan sosial yang belum tentu dapat dilakukan oleh banyak orang. Dia tampak menikmati hari-harinya dengan penuh ketulusan. Sebagai sosok guru besar di bidangnya, kerap ia melakukan hal-hal di luar dugaan, berkiprah di luar wilayah keahlian formalnya sebagai pakar ekonomi. Dengan membaca kiprahnya yang belakangan ia lakukan, bagi saya, kehidupan Bu Tati seolah menjadi tafsir atas salah satu pesan Rasul: ”Sebaik-baik manusia adalah mereka yang memberikan manfaat bagi sesamanya.”
Memang tidak banyak perempuan yang sukses menjadi ilmuwan. Dalam bidang ilmu agama, misalnya, sulit ditemukan seorang mufassir perempuan. Dari puluhan kitab tafsir yang saat ini beredar di dunia, tak satu pun ditulis oleh seorang mufassir perempuan. Tapi, di tengah kelangkaan seperti itu, hampir selalu ada sosok yang bisa tampil beda. Buku Ulama-ulama Perempuan yang dirakit dari hasil penelitian PPIM UIN Jakarta tampaknya sengaja secara khusus dipublikasikan untuk mengungkap sosok perempuan prestatif sebagai bukti adanya elit intelektual di tengah langkanya — paling tidak dari segi popularitas — ulama dari kalangan perempuan. Bahkan, begitu tidak seimbangnya rasio laki-perempuan, dalam dunia politik ”terpaksa” harus dikeluarkan undang-undang untuk memfasilitasi keseimbangan jumlah perempuan yang terjun di bidang politik.
Prof Tati adalah di antara perempuan yang lanka itu. Ketika tulisan ini dibuat, saya tengah menyaksikan sepak terjang Bu Tati khususnya di wilayah akademik dan sosial. Dia tengah merintis bangunan ilmiah ekonomi Islam. Meski secara praktis ekonomi Islam semakin banyak diminati orang, tapi secara akdemis masih membutuhkan sentuhan para pakar sehingga menjadi wujud ilmu yang semakin mapan. Minatnya di bidang yang satu ini semakin terasah dengan tetap memberikan kuliah-kuliah di berbagai perguruan tinggi, khususnya di Universitas Islam Bandung dan Universitas Padjadjaran Bandung. Bahkan, kalau saya tidak salah, perkenalan saya dengan Bu Tati ini juga terkait dengan posisinya yang pernah mengajar di Fakultas Ekonomi Unisba dan lebih dalam lagi perkenalan itu ketika Yayasan Universitas Islam Bandung bekerjasama dengan Yayasan Rumah Sakit Al Islam mendirikan Fakultas Kedokteran Unisba dimana Bu Tati banyak terlibat dan aktif didalamnya.
Lebih dari itu, saya bahkan semakin mengenal sosok Prof Tati justeru dalam suatu ”perjumpaan” ruhani ketika dia mulai menemukan tempatnya yang baru, tempat yang agak bergeser dari wilayah rasionalitas seperti umumnya menjadi tempat para guru besar, tempat yang lebih bernuansa spiritual. Dalam perjumpaan itu, suatu ketika Bu Tati berkisah tentang kesadaran barunya yang merasa semakin dekat dengan Tuhan. Ketika itu, secara lahiriyah, gejalanya memang semakin nampak. Pada dirinya mulai nampak tanda-tanda telah terjadinya sebuah transformasi spiritual yang sangat dahsyat. Saya tidak tahu bagaimana Bu Tati merasakannya.
Akhirnya saya pun semakin tahu. Bu Tati sering berkisah. Warna kehidupan yang sebelumnya lebih menyiratkan dimensi duniawi semata, kini telah berubah secara amat mengesankan. Menurutnya, perubahan ini terutama dimulai sejak terbukanya pintu spiritual ketika anak yang amat dicintainya berpulang untuk tidak pernah kembali lagi. Anaknya meninggal dengan menyisakan kesan yang amat mendalam. Mungkin karena kecintaannya yang teramat besar. Ia hampir tidak sanggup menerima kenyataan itu.
Tapi, di tengah sesak duka yang teramat dalam itu, menurutnya, Tuhan justeru datang menyapanya. Dia memberikan kesejukan, ketenangan, dan kepasrahan yang sebelumnya tidak pernah ia miliki. Tuhan menjadi sedemikian dekat; padahal dirinya tidak sedang berusaha untuk mendekat. Tapi Tuhan terus mendekat, hingga akhirnya dia pun semakin merasakan kelezatan spiritualitas itu. Ia menemukannya di tengah himpitan rasa duka yang mungkin tidak akan ditemukan penawarnya. Kekuatan itu tiba-tiba datang padahal ia tak pernah mengharapkannya, atau bahkan lupa.
Di luar pengembaraan intelektualnya, Bu Tati sanggup menembus dinding tebal spiritualitas. Meski mungkin tidak pernah direncanakannya, ruang kehidupan baru ini telah berhasil membangunkannya dari tidur yang berkepanjangan. Tidur yang membuatnya terlena dalam hiruk pikuk kehidupan yang serba rasional. Sebuah perjalanan yang hanya bisa dikalkulasi dengan formula untung-rugi; atau sebuah kebenaran semu yang hanya diukur dalam takaran obyektivitas empirik. Semua dilaluinya dalam kancah profesionalisme formal seperti layaknya seorang ilmuwan.
Tapi, tak seorangpun dapat menduganya kalau dibalik perjalanan panjang itu tersembunyi kekuatan lain yang justeru menjadi spirit yang sanggup merubah kehidupannya begitu dahsyat. Seratus delapan puluh derajat orientasi hidupnya berubah. Perubahan orientasi ini pula yang telah berhasil merubah definisi produktifitas material ke dalam wujud amal salih yang lebih bernilai universal. Di sinilah ditemukan dimensi kemanusiaannya yang hakiki. Dalam arus transformasi spiritual ini pula tampaknya Bu Tati berhasil menemukan dirinya menjadi manusia seutuhnya, seorang pengabdi yang tak mengenal lelah, mencitai sesama secara apa adanya.
Sejujurnya saya menyaksikan drama kehidupan itu begitu indah. Ketika bersama-sama menjadi dosen di Unisba, saat itu, Bu Tati tidak lebih dari seorang tenaga pengajar yang membagi ilmunya dengan para mahasiswa. Karena keuletan kerjanya yang sangat menonjol, Pak Tirto, rektor Unisba saat itu, memberinya kepercayaan khusus yang tidak diberikan kepada yang lain. Atas kepercayaan itu Bu Tati semakin memperlihatkan profesionalisme kerjanya seiring keahliannya yang semakin terasah tajam. Saya sendiri mengetahui kiprahnya yang amat membanggakan itu. Tapi saya tidak tahu kalau di balik itu terdapat benih-benih spiritualitas yang dapat tumbuh subur dalam dirinya.
Mungkin, kiprahnya di Rumah Sakit Al Islam Bandung di usia lanjut yang menjadi medan pengabdiannya dan sentuhan pergaulan dengan orang–orang seperti pak Ahmad Tirtosudiro dan Ibu DR Enan Rahmawati, dll menyemai benih-benih spiritualitas itu. Disadari ataupun tidak disadari. Memang sangat di luar dugaan sebelumnya, jika kepergian anaknya ternyata menjadi jembatan perjalanannya menuju Tuhan. Wallahu ’alam!