Oleh: Prof Dr. KH. Miftah Faridl
Ibarat sebuah kail. Sangat kecil, bahkan terkesan spele, dan tidak menggambarkan manfaat sedikit pun. Tapi kail tetap digunakan orang, terutama untuk memperoleh sesuatu yang jauh lebih besar. Kail baru dirasakan begitu penting, besar, dan tidak spele setelah kail dapat memberikan hasil besar bagi penggunanya, atau bahkan jauh lebih besar dari apa yang dibayangkan sebelumnya. Orang baru tahu manfaat kail setelah kail itu memberikan hasil. Tapi orang tidak akan pernah tahu manfaat kail sebelum ia sendiri menggunakannya.
Inilah kail. Sebuah kenyataan yang sarat hikmah dan pelajaran. Tapi dalam tulisan ini kita tidak akan lebih jauh mendiskusikan kail. Kail hanyalah sebuah perumpamaan. Ibarat kail, zakat, infaq, dan shadaqah akan memberikan sesuatu yang lebih besar. Tapi hanya bagi pelakunya. Al-Qur’an sendiri menggambarkan kelipatan yang sangat besar dari jumlah yang dikeluarkan dalam berzakat, berinfaq, dan beshadaqah. Hingga tujuh ratus kali lipat dari tujuh dahan pohon. Al-Qur’an menjanjikan kelipatan balasan bagi orang yang menginfaqkan sebagian kecil hartanya.
Karena itu sejak awal Rasulullah mentradisikan zakat sebagai fasilitas ilahiyah dalam mendapatkan keuntungan baik dunia maupun akhirat. Nabi pun mulai memelihara ajaran zakat. Ajaran zakat sendiri, khususnya pada awal perkembangan masyarakat Islam di era Rasulullah, bukan saja merupakan salah satu perwujudan dari ketaatan pada perintah Allah dan Rasulnya, tapi juga sekaligus menjadi kekuatan sosial yang berfungsi memperkokoh bangunan kebersamaan di antara sesama. Tidak semua orang Makkah dan Madinah yang menjadi pengikut Nabi saat itu berasal dari lapisan masyarakat atas secara ekonomi. Banyak para hamba sahaya yang tulus menjadi pengikut Nabi, atau orang-orang fakir-miskin dan yatim-piatu, termasuk janda-janda shalihah yang ditinggal suaminya karena gugur di medan perang, dapat tertolong secara sosial oleh tegaknya ajaran zakat.
Tradisi Nabi dalam mengelola zakat untuk kepentingan sosial ini dilanjutkan oleh para shahabat dan tabi’in. Sejalan dengan semakin berkembangnya masyarakat muslim dari waktu ke waktu, pelaksanaan ajaran zakat pun menghadapi permasalahan yang tidak pernah muncul pada zaman Nabi dan para shahabatnya. Maka, karena tantangan munculnya berbagai persoalan seperti itulah hingga pada periode berikutnya lahir satu rumusan petunjuk pelaksanaan perintah Allah ini dalam bentuk yang sekarang disebut fiqh zakat. Berbagai ijtihad dilakukan untuk menemukan solusi pengelolaan zakat agar tetap mampu memelihara semangat sosial, sekaligus memberikan efek spiritual bagi para pelakunya.
Dengan mendasarkan pada pertimbangan-pertimbangan empirik sosiologis yang berkembang mengikuti perjalanan masyarakat Muslim dari zaman ke zaman itu pula, seorang pemikir Muslim kontemporer, Yusuf Qardhawi, merumuskan berbagai terobosan fiqhiyah dalam hal pelaksanaan zakat. Berbagai telaah tentang zakat menyebutkan bahwa untuk memelihara tujuan disyariatkannya (maqashid syar’iyah) perintah zakat, diperlukan ijtihad-ijtihad sosial yang akan memberikan efek produktif bagi kemaslahatan umat. Karena itu, untuk mengantisipasi kompleksitas pengelolaan zakat sejalan dengan semakin kompleksnya struktur masyarakat, salah satunya, diperlukan sistem kelembagaan zakat.
Karena tujuan besar dan mulia inilah, lembaga-lembaga zakat dibangun bukan saja berorientasi pada dimensi mustahiq, tapi juga pada dimensi muzakki. Melalui sistem kelembagaan ini, para amilin bukan saja akan berfungsi sebagai pengumpul dan pendistribusi zakat secara konvensional, tapi juga akan berfungsi sebagai jembatan kehidupan di antara lapisan-lapisan sosial yang sering tampak sangat senjang. Ia bukan hanya memikirkan pola pendistribusian yang cenderung konsumtif, tapi juga akan memasuki wilayah pemberdayaan para mustahiq secara lebih produktif.
Oleh karena itu, lahirnya lembaga-lembaga zakat seperti halnya Dompet Dhuafa, salah satunya, ingin membuka ruang produktifitas yang lebih besar dan akan memberikan dampak sosial yang lebih besar pula. Melalui fungsi kelembagaan ini, mekanisme zakat dapat berlangsung dalam alur administratif yang relatif lebih baik, sehingga perolehan serta penyalurannya dari tahun ke tahun dapat berjalan dengan tetap mengacu pada ketentuan normatif tentang muzakki dan mustahiq di satu pihak, dan di pihak lain, setiap muzakki dapat menunaikan kewajiban zakatnya melalui suatu lembaga secara lebih tertib, nyaman, dan mudah.
Jadi, inilah kail kehidupan, kail solidaritas, kail perajut berkah yang dapat membahagiakan ratusan kali lipat orang miskin untuk merasakan kebahagiaan bersama.