MEMETIK HIKMAH DARI MUSIBAH

Oleh : PROF. DR. H. MIFTAH FARIDL

Saya masih ingat kisah seorang lelaki ketika harus pasrah ditinggal anak, istri dan seluruh harta bendanya yang habis tak tersisa dimakan tsunami di Aceh. Ia sempat “kehilangan” akal sehatnya. Tapi karena dasar keyakinannya yang kuat bahwa segala sesuatu sudah ada ketentuannya, dia pun akhirnya menerima semua kenyataan pahit itu dan langsung berbuat sesuatu yang bisa bermanfaat bagi masyarakat yang memang selamat dari maut tsunami.

Seorang lelaki yang saya certitakan itu selamat karena memang tidak sedang bersama keluarga di rumah ketika tsunami menerjang Aceh. Ia tengah berada di Jakarta untuk urusan tugas kerja. Seharusnya, ia pun berada di rumah ketika tsunami datang. Sebab sehari sebelumnya ia harusnya sudah pulang. Tapi Tuhan punya rencana lain. Pesawat yang seharusnya membawanya terbang ke Aceh, ditunda hingga keesokan harinya. Laki-laki ini pun batal pulang ke Aceh pada hari itu. Ketika ia berada di Jakarta untuk waktu ekstra itulah, tsunami menjemput anak-istri dan seluruh miliknya di rumah.

Tidak lama setelah peristiwa itu, saya diminta memberi pengantar buku yang membahas tentang musibah. Jujur saja, saya memberikan pengantar buku itu dengan penuh perasaan. Aspek rasionalitas yang sejatinya menjadi salah satu ciri karya tulis, terpaksa saya lepas. Betapa musibah itu memang sering mengganggu keikhlasan. Dalam menghadapi kenyataan yang sering terasa pahit, ketika memberi pengantar buku itu saya menulis: ”…. kita sering pasrah karena tak berdaya.” Kadang kita pun bertanya dalam hati, lalu bergumam sambil sesekali menyalahkan Tuhan, “Apa yang telah saya lakukan sampai saya harus mengalami ini semua?” Atau, “Kenapa Tuhan membiarkan ini semua terjadi pada diri saya?”

Kini, seperti tersaji di hadapan pembaca, hadir kembali buku yang mengisahkan sebuah peristiwa. Buku ini berkisah di seputar misteri hilangnya pesawat Adam Air. Seperti diketahui publik, berbagai tanda tanya muncul menyusul ”hilangnya” pesawat Adam Air. Hingga beberapa pekan sejak peristiwa tersebut, tanda tanya itu hampir tidak pernah terjawab. Malah tragisnya lagi, kebuntuan itu akhirnya menyentuh wilayah teologis yang sering tidak rasional. Munculnya anggapan imaginer bahwa pesawat itu hilang ”ditelan” makhluk halus sejenis Jin.

Ini tentu sangat berlebihan. Semakin tidak berdaya, bagi sebagian orang, memang cenderung semakin tidak rasional. Padahal pintu rasionalitas untuk mengungkap peristiwa itu masih sangat lebar terbuka. Lalu mengapa tanda tanya itu berujung dengan mengkambinghitamkan Jin?
***
Lewat pengantar ini saya tidak bermaksud memberikan jawaban. Saya bukan ahlinya di bidang penerbangan. Saya juga tudak pernah menekuni bidang yang satu ini. Saya hanya seorang mantan santri yang hampir tidak pernah menyentuh wilayah teknologi. Jadi, alasan mengapa saya bersedia memberikan pengantar pada buku ini pun sangat sederhana. Selain karena penulisnya orang yang sangat saya kenal, Achmad Setiaji, juga peristiwa itu, bagi saya, paling tidak menyiratkan dua hal penting: (1) berkaitan dengan musibah, dan (2) menyangkut fenomena melibatkan Jin dalam peristiwa yang sulit ditemukan rumusan rasionalitasnya.

Dalam perspektif agama, jatuhnya pesawat Adam Air dapat dipandang sebagai musibah. Dalam bahasa yang sangat simplistik, seorang santri menyebutnya taqdir. Benar bahwa di balik taqdir ada ikhtiar. Tapi ikhtiar mana yang dapat menjamin bahwa sesuatu rencana 100% tercapai? Maka, di sinilah posisi akal menjadi sangat penting terutama berkaitan dengan fasilitas insani untuk dapat mendayagunakan berbagai potensi melalui ilmu pengetahuan.

Tidak sederhana memang membukakan mata dan hati manusia, terutama ketika musibah sedang menimba dirinya. Kadang, orang tabah menerimanya sebagai ujian untuk mempertebal keimanan. Tapi tidak sedikit pula orang yang malah menuduh Tuhan karena telah berbuat khianat pada manusia. Jika tidak ”berani” menuduh Tuhan seperti itu, maka yang paling mungkin mencari kambing hitam. Dalam kasus ”hilangnya” Adam Air, Jin sempat menjadi kambing hitam.

Peristiwa Adam Air bukan satu-satunya musibah yang terjadi di tanah air beberapa tahun terakhir. Belum lama berselang, dari udara, pesawat jatuh membawa korban ratusan jiwa manusia; dan di laut pun terjadi tragedi yang menenggelamkan anak-anak tak berdosa. Belum kering mata kita menangis, tiba-tiba terdengar lagi jeritan anak manusia dari arah perjalanan kereta api. Berkali-kali pesawat udara menghadapi bencana, berkali-kali pula kereta api tergelincir atau bahkan bertabrakan. Berita-berita yang sarat mewarnai berbagai media membuat anak-anak paranoid. Sebentar-sebentar terdengar berita banjir, tidak lama kemudian berita gempa, angin beliung, gunung meletus, kecelakaan transportasi, kelaparan, dan semua hal yang serba menakutkan.

Anehnya, ketika orang-orang sedang ketakutan, masih ada orang-orang yang sama sekali tidak pernah merasa takut. Ketika orang berpikir bahwa bencana ini sesungguhnya adzab dan peringatan Sang Pencipta, mereka malah sibuk mencari pembenaran untuk menghindari kekhilafan. Mereka tidak merasa takut akan adzab Allah, ketika wakil rakyat lebih suka mengurus kenaikan gaji ketimbang memikirkan nasib rakyat. Mereka tidak takut akan murka Allah, ketika kebijakan telah membuat orang-orang yang tengah beribadah di Arafah berteriak kelaparan. Mereka membuat kalkulasi efisiensi, padahal tanpa disadari telah membuat para jamaah di tanah suci terlantar.

Mungkin, inilah petaka bangsa, ketika alam tidak lagi bersedia bersahabat dengan para penghuninya. Kini, kemarahan alam tidak lagi bisa dihalang-halangi. Kesabarannya telah terlalui, dan menangis pun sudah bukan lagi solusi.
***
Lalu bagaimana sebaiknya kita bersikap? Buku ini ingin menyapa para pembacanya untuk tetap menggunakan akal sehat, berpikir rasional dan tetap berikhtiar dalam bimbingan wahyu. Ketika terjadi musibah, kita wajib bangkit berusaha melawan derita dalam sikap yang sesuai dengan anjuran agama. Penjelasan berbagai temuan serta argumentasi yang dipaparkan buku ini diharapkan dapat membuka mata sehingga Jin tidak lagi menjadi kambing hitam yang tak jelas dalil naqli maupun aqlinya.
Selamat membaca!

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest
(5.0)
5/5
(5.0)
5/5
(5.0)
5/5