PROF. DR. H. MIFTAH FARIDL
Nama Miftah Faridl, bagi kebanyakan orang yang pernah mengenalnya, hampir identik dengan dakwah, ceramah, tabligh, atau bahkan konsultasi agama dan keluarga. Begitu namanya disebut, yang terbayang dalam pikirannya adalah dakwah. Sejak tahun 1970-an Miftah dikenal sebagai seorang da’i, muballigh, yang dekat dengan umat. Bahasanya runtun dengan logika yang mudah diterima masyarakat. Baginya, istilah ‘ala qadri ‘uqulihim seperti disebutkan dalam salah satu hadits Nabi, bukan saja merupakan isyarat perintah berdakwah, tapi lebih dari itu, hadits tersebut sekaligus merupakan tuntunan metodologis dalam menyampaikan pesan-pesan ajaran.
Pria santun kelahiran Cianjur 18 Oktober 1944 yang saat ini tengah mengemban amanah sebagai Ketua Umum MUI Kota Bandung, juga tidak bisa membayangkan kapan kegiatan dakwahnya itu akan berhenti. Sebab, baginya, tidak ada pensiunan da’i. Berdakwah merupakan tugas agama yang mengikat setiap individu. Karena pandangannya itu pula, posisi formalnya sebagai pegawai negeri, dosen etika dan agama di Institut Teknologi Bandung (ITB), sama sekali tidak nampak. Mungkin, kalaupun ada identifikasi dengan kampus tempat kerjanya itu, karena Miftah juga dikenal sebagai pembina masjid Salman yang hampir identik dengan kampus ITB.
Cara-cara berdakwah Miftah dapat diterima hampir oleh semua lapisan masyarakat. Tidak heran jika kemudian diketahui bahwa Miftah bisa hadir di mana-mana, mulai dari pejabat, cendekiawan, mahasiswa, hingga masyarakat biasa. Miftah yang memperoleh gelar Doktor dari IAIN Jakarta dengan predikat Cumlaude ini tidak pernah membuat garis antara kelompok-kelompok keagamaan yang ada. Latar belakang aktifitasnya di lingkungan Muhammadiyah, tidak membuat masyarakat nahdliyin menjadi kaku berdialog bersamanya. Atau sebaliknya, latar belakang pesantren NU yang pernah dipilihnya untuk belajar agama di Solo, tidak membuat jamaah Persatuan Islam menolak ceramah-ceramah Miftah.
Kecintaannya pada pekerjaan menyeru umat, memang telah tumbuh sejak Miftah masih sangat belia. Dalam usia belasan tahun, di pesantren tempat dia mengaji, Miftah sering berlatih menyampaikan pidato. Kemampuan ceramahnya dinilai jauh lebih maju dibanding teman-teman seangkatannya. Ketika usianya sudah memasuki angka 25, Miftah memang sudah menjadi da’i. Bersama istri yang dicintainya, Ibu Farida, pada tahun 1970-an, Miftah dikenal khalayak sebagai da’i muda, dengan rambut agak panjang, berbicaranya lantang, lugas membahas berbagai ketimpangan. Pengalaman perjalannya ke beberapa negara telah menambah wawasan ilustrasi sehingga pesan-pesannya sanggup membangkitkan gairah para pendengarnya.
Memasuki dekade 1980-an, popularitasnya semakin meningkat. Gagasannya cemerlang, gayanya sensasional, seolah mengajak bersama memecahkan masalah. Seusai melakukan lawatan ke Jepang, sosok peraih gelar akademik Professor tahun 2008 ini semakin berani mengritik berbagai ketimpangan perilaku sosial orang-orang Islam yang menjadi penganut mayoritas penduduk di negeri ini. Ia tidak segan-segan mengatakan: “Perilaku orang Jepang bisa lebih islami dari orang-orang Islam sendiri. Ajaran Islam lebih banyak diamalkan oleh orang-orang di luar Islam.” Pernyataan provokatif yang jarang dikemukakan para da’i sebelumnya.
Gaya ceramah Miftah semakin relevan dengan tuntutan situasional era 1980-an. Sejarah mencatat bahwa era 1980-an ini merupakan awal kebangkitan Islam abad XV Hijriyah. Dalam suasana inilah kemudian Miftah hadir di tengah gairah baru masyarakat Muslim khususnya di kota Bandung. Miftah juga manjadi salah seorang pelopor gerakan “Back to the Mosque”. Masjid-masjid kampus perguruan tinggi semakin ramai mengusung semboyan itu. Para aktivisnya pun menyebar ke berbagai lapisan sosial melalui kegiatan masjid.
Pesan-pesan dakwah Miftah memang berada dalam rentang gerakan sosial keagamaan yang up-to-date. Tidak heran jika dari gaya dakwah yang biasa dibawakannya kemudian melahirkan kesan umum Miftah sebagai sosok ulama intelek yang kaya gagasan dengan penyajian yang tetap segar. Popularitas Miftah pun terus mengalir mengikuti arus kecenderungan masyarakat baru yang bernuansa kosmopolit.
Selain ceramah-ceramah lisan, pesan-pesan tertulis pun sejak lama telah menjadi ciri Miftah berdakwah. Buku-bukunya tentang Islam mulai mengalir menggenapkan sosok Miftah sebagai penceramah dan juga penulis. Bahkan, lebih dari itu, Miftah juga terbukti pandai memanfaatkan media. Ia berdakwah bukan saja melalui media konvensional dengan melangkah dari mimbar ke mimbar, menemui warga desa ataupun kota, masyarakat terpelajar ataupun biasa, tapi juga dikenal sebagai da’i yang tetap bersahabat di media. Miftah dikenal sebagai penyejuk suasana keluarga melalui rangkaian nasihat yang sanggup menembus ruang keluarga yang tersebar di berbagai lapisan sosial.
Miftah yang kini dikaruniai seorang putra dan tiga orang putri ini memang dituntut dewasa sejak kecil. Ia harus sudah pandai membimbing keluarga sejak masih sangat belia. Adik-adiknya adalah bimbingan Miftah mulai dari urusan makan, main, mengaji dan belajar shalat. Tidak heran jika hingga usianya memasuki angka 60-an, Miftah masih terus didatangi sejumlah “pasien” untuk berkonsultasi khususnya di seputar masalah keluarga.
Bahkan, sejak dirinya dipercaya menjadi sekretartis MUI Jawa Barat mendampingi KHEZ Muttaqien, Miftah telah dipercaya banyak orang untuk dimintai nasihat dan sekaligus bimbingannya. Kelembagaan ulama itu pula yang ikut mengantar Miftah memasuki medan masyarakat yang penuh dinamika. Pak Muttaqien yang waktu itu sangat sibuk, memberikan kepercayaan kepada Miftah untuk memaksimalkan kesempatan dan kemampuannya dalam bidang agama. Bukan hanya berdakwah dari mimbar ke mimbar, tapi juga sekaligus membimbing umat dalam menghadapi zaman yang dari waktu ke waktu kian berubah.
Kedekatan dengan umat memang telah dipupuk sejak Miftah kecil. Sejak usianya baru menginjak tamyiz, kedewasaan dan kemandirian Miftah telah teruji. Meski tanpa kasih sayang yang cukup dari ibu kandungnya yang meninggal sebelum Miftah dewasa, lingkungan keluarga yang membesarkannya telah membentuk Miftah penuh tanggung jawab. Miftah lah yang biasa mengasuh dan membimbing adik-adiknya, baik di rumah maupun di madrasah tempat mengaji.